Oleh: Timotius Murib (Ketua MRP)
1. Aspirasi untuk pembentukan daerah otonom baru di Provinsi Papua, selama ini tidak selalu dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Selain itu, seringkali, baik pembentukan provinsi maupun kabupaten/kota, tidak berdasarkan kajian kelayakan yang obyektif dan sahih. misalnya, data mengenai kependudukan (jumlah penduduk) di suatu daerah kabupaten, seringkali dimanipulasi dan/atau direkayasa. Selain itu, aspirasi pemekaran seringkali didorong oleh kepentingan subyektif, bukan kepentingan obyektif masyarakat mayoritas atau bukan aspirasi murni OAP.
2. Pembentukan daerah otonom baru di Provinsi Papua, harus dilaksanakan berdasarkan atau disesuaikan dengan rencana pengembangan wilayah yang baku. sejauh yang diketahui, sampai sekarang Pemerintah Pusat belum menetapkan Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua. Penetapan Tata Ruang Wilayah ini, menurut MRP, penting dalam rangka penataan hak ulayat masyarakat adat. Konflik sosial bisa timbul di daerah otonom baru, apabila pemanfaatan tata ruang wilayah, berikut pemanfaatan sumber daya alam di wilayah administrasi daerah otonom baru tersebut menyampingkan atau mengabaikan hak ulayat masyarakat setempat.
3. Adanya Otonomi Khusus dengan dana alokasi khususnya, menjadi salah satu faktor pendorong merebaknya aspirasi tentang pembentukan daerah otonom baru di Provinsi Papua. Dan dengan adanya kemudahan - kemudahan melalui Otonomi Khusus tersebut, menjadi daya tarik bagi penduduk dan pencari kerja dari luar Papua untuk masuk ke Provinsi Papua dan kabupaten/kota, daerah otonom baru tersebut. Pada sisi lain, penduduk asli, khususnya orang asli Papua, belum siap dan belum disiapkan secara baik, secara psiko ekonomis-politis dan psiko sosial-kultural.
4. Pembentukan daerah otonom baru di Provinsi Papua, baik berupa provinsi maupun kabupaten/kota, harus tetap mengikuti agenda moratorium yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara agenda moratorium berlangsung, menurut MRP, dalam rangka penataan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan otonomi di daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua, bekerja sama dengan Perguruan Tinggi untuk melakukan evalusi yang obyektif dan sahih mengenai pelaksanaan Otonomi Khusus dan pelaksanaan otonomi di Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua. Dalam konteks ini, oleh karena Otonomi Khusus Papua menempatkan orang asli Papua sebagai sasaran utama (affirmation policy), maka perhatian dalam evaluasi tersebut seharusnya mencakup pula gambaran yang obyektif dan sahih mengenai keterpenuhan hak dan kepentingan serta populasi dan keberadaan orang asli Papua mengenai akses yang diperolehnya dalam berbagai aspek pembangunan serta dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
5. Kebijakan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pada hakekatnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup serta taraf hidup masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, agar menjadi semakin maju, makmur dan sejahtera lahir dan bathin. Oleh karena itu, menurut MRP, dalam hal pembentukan daerah otonom baru, baik provinsi ataupun kabupaten/kota, populasi dan keberadaan (eksistensi) orang asli Papua harus menjadi syarat mutlak dalam konteks tersebut. Selain itu, menurut MRP, hal lain yang harus pula mendapat perhatian sungguh - sungguh dalam konteks pemekaran adalah mengenai kesatuan sosial budaya dan wilayah hukum masyarakat adat yang tercakup dalam wilayah hak ulayat masyarakat adat setempat. Hal ini menjadi penting, dalam rangka menjaga dan menjamin keharmonisan hubungan sosial di dalam masyarakat setempat dan sekaligus mencegah sedini mungkin, kemungkinan adanya atau timbulnya konfik sosial berkaitan dengan batas wilayah dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah administrasi pemerintahan daerah otonom baru tersebut.
6. Pembentukan daerah otonom baru dalam bentuk provinsi di Provinsi Papua, menurut MRP, hal itu tidak terlalu penting. Hal ini, karena pada umumnya salah satu alasan pembentukan daerah otonom baru adalah untuk memperpendek rentang kendali, terkait dengan keadaan topografis, geografis, iklim dan demografis. Akan tetapi dengan dibentuknya daerah kabupaten baru yang banyak di Papua sekarang, yang berjumlah 29 Kabupaten/Kota, maka sebenarnya soal rentang kendali tidak relevan menjadi alasan untuk pembentukan provinsi baru. Karena soal rentan kendali, dapat ditangani di Kabupaten/Kota. Memang harus diakui, masih terdapat berbagai kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini, khususnya terkait dengan pembagian dan distribusi dana alokasi khusus Otonomi Khusus Papua. Tetapi, MRP berpendapat hal ini, tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang relevan dan urgen untuk membentuk provinsi baru di Provinsi Papua.
7. Kalaupun telah ada usulan pemekaran yang disampaikan kepada Pemerintah Pusat dan DPR RI dan DPD RI, MRP sangat mengharapkan agar segala sesuatunya sungguh-sungguh berdasarkan penilaian serta pertimbangan yang obyektif dan harus bertumpu pada Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian, beberapa hal yang dapat kami sampaikan. Wasalam. Hidup OAP✊🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar