Minggu, 02 Juni 2019

EKSISTENSI OTSUS PEMICU KONFLIK DI PAPUA, PERLU ADA DIALOG ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DAN RAKYAT PAPUA (PEJUANG)

                       
                    Foto: Doc. Pribadi Amoka



By:Amoka


P R O L O G :
            Eksistensi Otsus adalah Untuk meredam Politik papua merdeka dan Untuk membungkam hak-hak fundamentalis orang asli papu (AOP). 
Tuntutan dan dukungan linkungan kebijakan dilakukan atas berbagai isu Linkungan di Papua, yaitu pelurusan sejarah papua, isu pelanggaran Hak Asasi Manusia, isu pengakuan hak-hak dasar rakyat Papua, serta isu kesenjangan kesejahtraan. Respons aktor formal dan aktor informal terhadap isu linkungan kebijakan itu di sampaikan dalam argumen dan pertanyaan kebijakan, baik sebelum maupun selama proses formulasi kebijakan Otonomi Khusus dengan cara argumen otoritatif, statistik, klasifikasional,  intuitif, analisentrik, ekplanator, pragmatis, dan kritik-nilai. 

Respon aktor formal terhadap linkungan politik dan Ideologi serta keamanan lebih kuat dan dominan dibandingkan dengan respons terhadap linkungan ekonomi, sosial,  dan budaya dalan proses formulasi kebijakan otonomi khusus. Ketika politik dan ideologi di papua semakin tinggi, kebijakan pertahanan keamanan semakin dominan, yang berakibat pada instabilitas papua wilayah papua.  Dampaknya adalah kondisi adalah kondisi ekonomi dan sosial budaya serta pelayanan pemerintah secara optimal, sehingga menimbulkan kembali pertentangan dan konflik. Di sisi lain, para aktor formal pemerintah dan aktor informal papua tidaklah bebas dari nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka dalam mengambil keputusan dalam proses formulasi kebijakan otonomi khusus papua, sebagaimana dikatakan Anderson sebagai faktor linkungan internal aktor,  yaitu nilai politik nilai organisasi,  nilai pribadi, nilai kebijakan, dan nilai indeologi. 

Meskipun demikian dalam kenyataannya, saat terjadi proses formulasi kebijkan Otonomi Khusus Papua,  para aktor formal Pemerintah menujukkan keterlibatan dan aksesibilitas yang dominan melalui Tim Pengkajian dan Tim Asistensi. Sedang, keterlibatan dan aksesibilitas para aktor informal Papua tidak terjadi selama proses formulasi kebijakan Otonomi Khusus itu, karena awal mereka menolak opsi Otonomi Khusus. 

Meskipun pernyataan pengakuan negara atas masalah-masalah kebijakan telah di rumuskan di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua yang menyebutkan "terjadinya" kesenjangan kesejahtraan, pelanggaran HAM, kesenjangan penegakan  hukum, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli papua,  dan adanya berbeda pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Indonesia sebagai akar atau sumber masalah yang perlu segera diselesaikan.

E P I L O G :

Tahapab Penyelesaian Konflik Di papua dalam konteks Otonomi khusus

- Tahapan Rekonlisiasi dan Dialog. Tahapan ini diawali dengan membangun rekonsiliasi hubungan melalui komitmen bersama dari pemerintah dan rakyat papua yang diwakili oleh Pro Kemerdekaan Papua (Organisasi Kiri), untuk mengakhiri berbagai konflik di papua secara damai dan komprehensif. Langkanya adalah membuka kembali aksesibilitas dan hubungan interaksi antara para aktor formal pemerintah dan aktor informal Pejuang Papua Merdeka secara berimbang dan menyeluruh selama proses formulasi kebijakan otonomi khusus, sehingga dapat dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik di papua.  Sebagaimana konsepsi Anderson (1978). Implikasinya adalah munculnya kembali sikap saling percaya (trust)  di antara pemerintah dan rakyat papua, Jika tidak demikian rakyat Papua tentunya akan sikap untuk mogok sipil menuju Referendum sebagai solusi Demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar